Kebanyakan
orang berusaha menjadi orang lain. Pikiran mereka merupakan pendapat
orang lain, hidup mereka suatu mimikri, semangat mereka hanyalah
kutipan
Rabu, 14 Desember 2011
Sabtu, 03 Desember 2011
JENIS-JENIS WACANA
JENIS-JENIS WACANA
Jenis
wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media
komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian. Menurut realitasnya,
wacana merupakan verbal dan nonverbal sebagai media komunikasi berwujud
tuturan lisan dan tulis, sedangkan dari segi pemaparan, kita dapat
memperoleh jenis wacana yang disebut naratif, deskriptif, prosedural,
ekspositori dan hortatori
.
A. Wacana Berdasarkan Realitas
Menurut
T. Fatimah Djajasudarma (1994: 6-7) realitas wacana dalam hal ini
adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian
kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan
kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada struktur apa adanya;
nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian
nonbahasa yakni rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna (bahasa
isyarat). Wacana nonbahasa yang berupa isyarat, antara lain berupa:
1. Isyarat dengan gerak-gerik sekitar kepala atau muka, meliputi:
a. Gerakan
mata, antara lain melotot, berkedip, menatap tajam (dapatkah kita
menentukan maknanya. Misalnya, melotot = marah; melotot = ’menyuruh
pergi’, dan sebagainya).
b. Gerak bibir, antara lain senyum, tertawa, meringis.
c. Gerak kepala, antara lain mengangguk, menggeleng.
d. Perubahan raut muka (wajah), antara lain mengerutkan kening, bermuka manis, bermuka masam.
2. Isyarat yang ditunjukkan melalui gerak anggota tubuh selain kepala, meliputi:
a. Gerak tangan, antara lain melambai, mengepal, mengacungkan ibu jari, menempelkan telunjuk pada bibir, menunjuk dahi.
b. Gerak kaki, antara lain mengayun-ayun, menghentak-hentakkan, menendang-nendang.
c. Gerak seluruh tubuh, antara lain seperti terlihat pada pantomim, memiliki makna wacana sebagai teks.
Tanda-tanda
nonbahasa yang bermakna berupa: (1) tanda rambu-rambu lalu lintas, dan
(2) di luar rambu-rambu lalu lintas. Tanda lalu lintas, misalnya dengan
warna lampu pada rambu-rambu lalu lintas: merah berarti ‘berhenti’,
kuning berarti ‘siap untuk maju’, dan hijau berarti ‘boleh maju’; tanda
diluar lalu lintas adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan dari kentongan,
misalnya, berarti ada bahaya. Realitas makna kentongan diwujudkan oleh
masyarakat pendukung wacana tersebut.
B. Wacana Berdasarkan Media Komunikasi
Berdasarkan media komunikasinya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana lisan dan tulisan.
1. Wacana tulis
Menurut
Henry Guntur Tarigan (1987:52) wacana tulis atau written discourse
adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis.
Menurut
Mulyana (2005:51-52) wacana tulis (written discourse) adalah jenis
wacana yang disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana
sebenarnya dapat dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan.
Sampai saat ini, tulisan masih merupakan media yang sangat efektif dan
efisian untuk menyampaikan berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan,
atau apapun yang dapat mewakili kreativitas manusia.
Wacana tulis sering dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang kajian wacana
yang tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Kedua
istilah tersebut kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi
istilah teks atau naskah tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf)
sedangkan gambar tidak termasuk didalamnya. Padahal gambar atau lukisan
dapat dimasukkan pula kedalam jenis wacana tulis (gambar). Sebagaiman
dikatakan Hari Mukti Kridalaksana dalam Mulyana (2005:52), wacana adalah
satuan bahasa yang terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan
dalam bentuk kata, kalimat, paragraf atau karangan yang utuh (buku,
novel, ensiklopedia, dan lain-lain) yang membawa amanat yang lengkap dan
cukup jelas berorientasi pada jenis wacana tulis.
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994: 7-8) wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud antara lain:
a. Sebuah
teks/ bahan tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang
mengungkapkan sesuatu secara beruntun dan utuh, misalnya sepucuk surat,
sekelumit cerita, sepenggal uraian ilmiah.
b. Sebuah
alinea, merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah
alinea, dapat dianggap sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi
yang utuh.
c. Sebuah
wacana (khusus bahasa Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah
kalimat majemuk dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.
Perhatikanlah makna yang terdapat dalam pernyataan berikut:
“Ade mencintai bapaknya, saya juga.”
Ketidakhadiran verba pada klausa kedua (‘saya juga’) dan juga ketidakhadiran objek yang diramalkan klausa kedua adalah:
d. ..........................., saya juga mencintai bapak saya
Atau
e. ..........................., saya juga mencintai bapak Ade
2. Wacana lisan
Menurut
Henry Guntur Tarigan (1987:55) wacana lisan atau spoken discourse
adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan.
Menurut
Mulyana (2005:52) wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana
yang disampaikan secara lisan atau langsung dalam bahasa verbal. Jenis
wacana ini sering disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran
(utterance). Adanya kenyataan bahwa pada dasrnya bahasa kali pertama
lahir melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu, wacana yang paling
utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian yang
sungguh-sungguh terhadap wacana pun seharusnya menjadikan wacana lisan
sebagai sasaran penelitian yang paling utama. Tentunya, dalam posisi ini
wacana tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.
Wacana lisan memiliki kelebihan dibanding wacana tulis. Beberapa kelebihan wacana lisan di antaranya ialah:
a. Bersifat alami (natural) dan langsung.
b. Mengandung unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi).
c. Memiliki sifat suprasentensial (di atas struktur kalimat).
d. Berlatar belakang konteks situasional.
Menurut
Henry Guntur Tarigan (1987:122) wacana lisan diciptakan atau dihasilkan
dalam waktu dan situasi yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua bentuk
wacana lisan terdapat kaidah-kaidah atau aturan-aturan mengenai siapa
yang berbicara (kepada siapa) apabila (waktunya). Dengan perkataan lain,
dalam wacana lisan, kita harus mengetahui dengan pasti:
a. Siapa yang berbicara
b. Kepada siapa
c. Apabila; pada saat yang nyata
Sebagai
pegangan dalam pembicaraan selanjutnya dalam buku kecil ini, maka yang
dimaksud dengan wacana lisan adalah satuan bahasa yang terlengkap dan
terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi
yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata
disampaikan secara lisan.
Disamping
terdapat banyak persamaan, terdapat juga sejumlah perbedaan antara
wacana tulis dan wacana lisan. Perbedaan itu dapat pula kita anggap
sebagai ciri masing-masing. Dalam uraian berikut ini akan kita bicarakan
beberapa hal yang merupakan ciri atau unsur khas wacana lisan, antara
lain:
a. Aneka tindak
b. Aneka gerak
c. Aneka pertukaran
d. Aneka transaksi
e. Peranan kinesik
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:7) sebagai
media komunikasi, wujud wacana sebagai media komunikasi berupa
rangkaian ujaran (tuturan) lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi
wacana lisan, wujudnya berupa:
a. Sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di warung kopi.
b. Satu
penggalan ikatan percakapan (rangkaian percakapan yang lengkap,
biasanya memuat: gambaran situasi, maksud, rangkaian penggunaan bahasa)
yang berupa:
Ica : .........................
Ania : “Apakah kau punya korek?”
Rudi : “Tertinggal di ruang makan tadi pagi.”
Penggalan wacana ini berupa bagian dari percakapan dan merupakan situasi yang komunikatif.
C. Wacana Berdasarkan Cara Pengungkapan
1. Wacana langsung
Wacana
langsung atau direct discourse adalah kutipan wacana yang sebenarnya
dibatasi oleh intonasi atau pungtuasi (Kridalaksana dalam Henry Guntur
Tarigan, 1987:55).
2. Wacana Tidak Langsung
Wacana
tidak langsung atau indirect discourse adalah pengungkapan kembali
wacana tanpa mengutip harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara
dengan mempergunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara
lain dengan klausa subordinatif, kata bahwa, dan sebagainya.
(Kridalaksana, 1964: 208-9).
D. Wacana Berdasarkan Cara Pembeberan (Pemaparan)
Wacana
pembeberan atau expository discourse adalah wacana yang tidak
mementingkan waktu dan penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan
bagian-bagiannya diikat secara logis (Kridalaksana dalam Henry Guntur
Tarigan, 1987:56).
1. Wacana naratif (narasi)
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994:8) wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang
menceritakan atau menyajikan hal atau kejadian (peristiwa) melalui
penonjolan pelaku. Isi wacana ditujukan ke arah memperluas pengetahuan
pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita
berdasarkan waktu, cara-cara bercerita, atau aturan alur (plot).
Menurut
Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:45-46) wacana narasi
merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Dalam narasi terdapat
unsu-unsur cerita yang penting misalnya unsur waktu, pelaku, dan
peristiwa. Dalam wacana narasi harus ada unsur waktu, bahkan unsur
pergeseran waktu itu sangat pentng. Unsur pelaku
atau tokoh merupakan pokok yang dibicarakan, sedangkan unsur peristiwa
adalah hal-hal yang dialami oleh sang pelaku.
Wacana narasi pada umumnya ditujukan untuk menggerakan
aspek emosi. Dengan narsi, penerima dapat membentuk citra atau
imajinasi. Aspek intelektual tidak banyak digunakan dalam memahami
wacana narasi.
2. Wacana deskriptif (deskripsi)
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:11) wacana
deskriptif berupa rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau
melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan
penuturnya. Wacana itu biasanya bertujuan mencapai penghayatan dan
imjinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah
merasakan atau mengalami sendiri secara langsung. Wacana deskriptif ini,
ada yang hanya memaparkan sesuatu secara objektif dan ada pula yang
memaparkannya secara imajinatif. Pemaparan secara objektif bersifat
menginformasikan sebagaimana adanya, sedangkan pemaparan secara
imajinatif bersifat menambahkan daya khayal. Daya khayal yang didapatkan
didalam novel atau cerpen, atau isi karya sastra pada umumnya.
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:37-38) wacana
deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada penerima pesan
agar membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal. Aspek
kejiwaan yang dapat mencerna wacana tersebut adalah emosi. Hanya melalui
emosi, seseorang dapat membentuk citra atau imajinasi tentang sesuatu.
Oleh sebab itu, ciri khas wacana deskripsi ditandai dengan pengggunaan
kata-kata atau ungkapan yang bersifat deskriptif, seperti rambutnya
ikal, hidungnya mancung, dan matanya biru. Dalam wacana ini biasanya
tidak digunakan kata-kata yang bersifat evaluatif yang terlalu abstrak
seperti, tinggi sekali, berat badan tidak seimbang, matanya indah, dan
sebagainya.
Wacana
deskripsi banyak digunakan dalam katalog penjualan dan juga data-data
kepolisian. Kalimat yang digunakan dalam wacana deskripsi umumnya
kalimat deklaratif dan kata-kata yang digunakan bersifat objektif.
Wacana deskripsi cenderung tidak mempunyai penanda pergeseran waktu
seperti dalam wacana narasi.
3. Wacana Prosedural (Eksposisi)
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:9) wacana
prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu
secara berurutan dan secara kronologis. Wacana prosedural disusun untuk
menjawab pertanyaan bagaimana cara mengerjakan atau menghasilkan
sesuatu.
Menurut Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:38-39) wacana
eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima
(pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat
berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima. Oleh
sebab itu, untuk memahami wacana eksposisi, diperlukan proses berpikir.
Wacana eksposisi menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kata tanya bagaimana. Oleh
karena itu, wacana tersebut dapat digunakan untuk menerangkan proses
atau prosedur suatu aktivitas. Khusus untuk menerangkan proses dan
prosedur, kalimat-kalimat yang digunakan dapat berupa kalimat perintah
disertai dengan kalimat deklaratif.
4. Wacana Hortatori (Argumentasi)
Menurut
Abdul Rani, Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:39-40) wacana
argumentasi merupakan salah satu bentuk wacana yang berusaha
mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang
dipertahankan, baik yang didasarkan pertimbangan logis maupun emosional
(Rottenberg, 1988:9). Senada dengan itu, Salmon (1984:8) memberikan
definisi argumentasi sebagai seperangkat kalimat yang disusun sedemikian
rupa sehingga beberapa kalimat berfungsi sebagai bukti-bukti yang
mendukung kalimat lain yang terdapat dalam perangkat itu.
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10) wacana hortatori adalah tuturan yang berisi ajakan atau nasihat. Tuturan dapat pula berupa ekspresi yang memperkuat keputusan untuk
menyakinkan. Wacana ini tidak disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi
merupakan hasil. Wacana ini digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau
pembaca agar terpikat akan suatu pendapat yang dikemukakan. Isi wacana
selalu berusaha untuk memiliki pengikut atau penganut, atau paling tidak
menyetujui pendapat yang dikemukakannya itu, kemudian terdorong untuk
melakukan atau mengalaminya. Yang termasuk wacana hortatori antara lain
khotbah, pidato tentang politik.
Sebuah
wacana dikategorikan argumentasi apabila bertolak dari adanya isu yang
sifatnya kontroversi antara penutur dan mitra tutur. Dalam kaitannya
dengan isu tersebut, penutur berusaha menjelaskan alasan-alasan yang
logis untuk meyakinkan mitra tuturnya (pembaca atau pendengar).
Biasanya, suatu topik diangkat karena mempunyai nilai, seperti indah,
benar, baik, berguna, efektif atau swebaliknya.
Pada
dasarnya, kekuatan argumen terletak pada kemampuan penutrur dalam
mengemukakan tiga prinsip pokok, yaitu apa yang disebut pernyataan,
alasan, dan pembenaran. Pernyataan mengacu pada kemampuan penutur dalam
menentukan posisi. Alasan mengacu pada kemampuan penutur untuk
mempertahakn pernyataannya dengan memberikan alasan-alasan yang relevan.
Pembenaran mengacu pada kemampuan penutur dalam menunjukkan hubungan
antara pernyataan dan alasan.
5. Wacana Ekspositori
Menurut T. Fatimah Djajasudarma (1994:10-11)
wacana ekpositori bersifat menjelaskan sesuatu. Biasanya berisi
pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan. Pada umumnya, ceramah,
pidato, atau artikel pada majalah dan surat kabar termasuk wacana
ekspositori. Wacana ini dapat berupa rangkaian tuturan yang menjelaskan
atau memeparkan sesuatu. Isi wacana lebih menjelaskan dengan cara
menguraikan bagian-bagian pokok pikiran. Tujuan yang ingin dicapai
melalui wacana ekspositori adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu.
Wacana
ekspositori dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh, berbentuk
perbandingan, uraian kronologis, identifikasi. Identifikasi dengan
orientasi pada meteri yang dijelaskan secara rinci atau bagian demi
bagian.
6. Wacana Dramatik
Wacan
dramatik menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit bagian
naratif. Pentas drama merupakan wacana dramatik. Drama dahulu dikenal
dengan sebutan ‘sandiwara’, tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama
drama.
7. Wacana Epistolari
Wacana
epistolari digunakan di dalam hal surat-surat, dengan sistem dan bentuk
tertentu. Wacana ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea
penutup.
8. Wacana Seremonial
Wacan
seremonial berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat
bahasa. Wacan seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara
perkawinan, upacara kematian, upacara syukuran, dsb.
E. Wacana Berdasarkan Bentuk
Menurut Henry Guntur Tarigan (1987:57-59), wacana berdasarkan bentuknya dapat dibagi atas:
1. Wacana prosa
Wacana
prosa adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana ini
didapat dan tertulis atau lisan, dapat berupa wacana langsung, dapat
pula dengan pembeberan atau penuturan. Contoh: novel, cerpen, tesis,
skripsi, dan lain-lain.
2. Wacana puisi
Wacana puisi adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi baik secara tertulis maupun lisan.
3. Wacana drama
Wacana drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk katalog baik secara tertulis maupun secara lisan.
Menurut pendapat Robert Longacre (dalam Mulyana, 2005:47-51) wacana berdasarkan bentuknya dapat dibagi atas:
1. Wacana naratif
Wacana
naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk
menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian
yang dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang. Bentuk wacana
naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan diakhiri oleh
alinea penutup.
2. Wacana Prosedural
Wacana
prosedural digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan
bagaimana sesuatu harus dilaksanakan. Oleh karena itu,
kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau aturan tertentu agar tujuan
kegiatan tertentu itu berhasil dengan baik.
3. Wacana Ekspositori
Wacana ekspositori bersifat menjelaskan sesuatu secara informatif. Bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan rasional
4. Wacana Hortatori
Wacana
hortatori digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar
tertarik terhadap pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif.
Tujuannya adalah mencari pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau
paling tidak menyetujui, pada hal yang disampaikan dalam wacana
tersebut.
5. Wacana Dramatik
Menurut
Menurut Mulyana (2005:50) wacana dramatik adalah bentuk wacana yang
berisi percakapan antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau
meminimalkan sifat narasi di didalamnya. Contoh teks dramatik adalah
skenario film/sinetron, pentas wayang orang, ketoprak, sandiwara, dan
sejenisnya.
Contoh wacana dramatik:
Ibu : Anakku, kamu sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah tua.
Anak : Maksud ibu?
Ibu : Ibu ingin segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek. Kamu harus segera mencari istri.
Anak : Saya kan belum punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti saya menghidupi istri dan anak-anak saya.
Ibu : Tidak usah khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat kamu buka usaha. Tapi kamu harus pandai cari tambahan modal. Terima ini.
Anak : Terimakasih, Bu.
6. Wacana Epistoleri
Menurut
Mulyana (2005:50) wacana epistoleri biasa dipergunakan dalam
surat-menyurat. Pada umumnya memiliki bentuk dan sistem tertentu yang
sudah menjadi kebiasaan atau aturan. Secara keseluruhan, bagian wacana
ini diawali oleh alinea pembuka, dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri
alinea penutup.
7. Wacana Seremonial
Menurut Mulyana (2005:51) wacana seremonial adalah bentuk wacana yang digunakan dalam kesempatan semonial
(upacara). Karena erat kaitannya dengan konteks situasi dan kondisi
yang terjadi dalam seremoni, maka wacana ini tidak digunakan di
sembarang waktu. Inilah bentuk wacana yang dinilai khas dan khusus dalam
Bahasa Jawa. Wacana ini umumnya tercipta kerena tersedianya konteks
sosio-kultural yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan, teks wacana
seremonial terdiri dari alinea pembuka, dilanjutkan isi, dan diakhiri
alinea penutup. Contoh wacana ini adalah pidato dalam upacara peringatan
hari-hari besar, upacara pernikahan (Jawa: tanggap wacana manten)
F. Wacana Berdasarkan Isi
Menurut
Mulyana (2005:57-63) klasifikasi wacana berdasarkan isi, relatif mudah
dikenali. Hal ini disebabkan antara lain, oleh tersedianya ruang dalam
berbagai media yang secara khusus langsung mengelompokkan jenis-jenis
wacana atas dasar isinya. Isi wacana sebenarnya lebih bermakna sebagai
‘nuansa’ atau muatan tentang hal yang ditulis, disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa (wacana).
Berdasarkan
isinya, wacana dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial,
wacana ekonomi, wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, dan wacana
kriminalitas. Wacana yang berkembang dan digunakan secara khusus dan
terbatas pada ‘dunia’-nya itu, dapat juga disebut sebagai register,
yaitu pemakaian bahasa dalam suatu lingkungan dan kelompok tertentu
dengan nuansa makna tertentu pula.
1. Wacana Politik
Wacana politik berkaitan dengan masalah politik.
2. Wacana Sosial
Wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
3. Wacana ekonomi
Wacana
ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana ekonomi, ada
beberapa register yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi. Contoh
ungkapan-ungkapan register ekonomi seperti persaingan pasar, biaya
produksi tinggi, langkanya sembako, konsumen dirugikan, inflasi,
evaluasi, harga saham gabungan, mata uang, dan sebagainya.
4. Wacana budaya
Wacana budaya berkaitan dengan
aktivitas kebudayaan. Meskipun sampai saat ini makna ‘kebudayaan’ masih
terus diperdebatkan, namun pada wilayah kewicanaan ini, kebudayaan
lebih dimaknai sebagai wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap
hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari’.
Wilayah tersebut kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan sabagai
representasi aktivitasnya yang kemudian disebut wacana budaya.
5. Wacana militer
Wacana
jenis ini hanya dipakai, dikembangkan di dunia militer. Instasi militer
dikenal sangat suka menciptakan istilah-istilah khusus yang hanya
dikenal oleh kalangan militer. Contoh istilah dalam wicana militer
seperti operasi militer, desersi, intelijen, apel pagi, sumpah prajurit,
veteran, dan lain-lain.
6. Wacana hukum dan kriminalitas
Persoalan
hukum dan kriminalitas, sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya
bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi satu kesatuan.
Kriminalitas menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas.
Contoh istilah yang digunakan dalam wacana hukum dan kriminalitas
seperti tersangka, tim pembela, kasasi, vonis, hakim.
7. Wacana olahraga dan kesehatan
Wacana
olahraga dan kesehatan berkaitan dengan masalah olahraga dan kesehatan.
Masalah yang berkaitan dengan kesehatan misalnya, muncul kalimat
”Sempat joging 10 menit, didiagnosis jantung ringan”. Istilah joging
adalah aktivitas olahraga ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh
karena itu, munculnya istilah ’jantung ringan’ pada bagian berikutnya
sama sekali bukan berarti berat jantung yang ringan (tidak berat),
tetapi jenis sakit jantung pada stadium awal (masih belum
mengkhawatirkan).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik. 2006. Analisis Wacana. Malang: Bayumedia Publishing.
Henry Guntur Tarigan. 1987. Pengajaran wacana. Bandung: Angkasa.
Mulyana. 2005. Kajian wacana. Yogyakarta: Tiara wacana.
T. Fatimah Djajasudarma. 1994. Wacana (Pemahaman dan hubungan antar unsur). Bandung: PT. UNESCO.
Kata Mutiara
Kebahagiaan dapat ditemukan, bahkan di saat-saat suram sekalipun; namun jika seseorang ingat untuk menyalakan lampu.
Langganan:
Postingan (Atom)