Powered By Blogger

Senin, 31 Oktober 2011

Warna Surga

Cerpen Fata Durry (Republika, 3 Juli 2011)
PEREMPUAN itu bernama Maria Mufida, terlahir dari keluarga religius. Ayahnya adalah anutan masyarakat di kota itu yang biasa dipanggil Gus Ramli, tetapi tamu-tamu dari kota lain biasa memanggilnya Kiai Ramli. Konon, dari cerita-cerita yang masyhur di masyarakat, Gus Ramli ini tidak mau keluar bila yang bertamu adalah pejabat pemerintah, kecuali reputasi pejabat itu baik dan memiliki track record yang baik pula. Kalau ditanyakan alasannya mengapa, Gus Ramli akan menjawab singkat, “Ane takut ketularan!” kata-katanya tegas, tapi tidak lupa tersenyum. Selain itu, Gus Ramli termasuk kiai yang wara’, dia tidak mau menerima ‘amplop’ dari pejabat. Kalaupun terpaksa disalami amplop, Gus Ramli tidak mau memakannya, paling-paling besoknya Gus Ramli menyuruh orang kepercayaannya membeli sawah di desa, setelah itu dipasrahkanlah sawah tersebut kepada penduduk miskin yang tidak punya lahan untuk menggarap sawah pemberian Gus Ramli.Maria Mufida, putri satu-satunya Gus Ramli, setelah lulus SMA Islamic Boarding School, melanjutkan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, sampai lulus tingkat S1. Gus Ramli menyuruhnya untuk segera pulang, padahal ia masih ingin melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya. Demi menyenangkan hati dan berbakti kepada ayahnya, akhirnya ia memutuskan untuk pulang.
“Nak, setelah ibumu wafat, hidup Abi terasa hampa. Maka, Abi minta maaf menyuruhmu pulang untuk menemani Abi menjalani hidup ini,” tutur Gus Ramli dengan mata berlinang ketika mengingat istrinya yang telah wafat setahun silam.
“Iya Abi, saya mengerti, saya pun merasa sangat kehilangan ditinggal Umi,” Maria ikut terharu.
“Selain itu, Nak, maksud Abi menyuruhmu pulang agar engkau di sini segera mencari calon suami, Abi ingin sekali menimang cucu.”
***
Setahun berlalu, nama Maria Mufida yang lebih dikenal dengan ustazah Maria menjadi masyhur, terutama di kalangan ibu-ibu pengajian. Dengan aktivitasnya sebagai mubaligah, mengharuskannya untuk datang di setiap undangan pengajian dan tidak jarang pula ia harus pergi ke luar kota memenuhi panggilan. Sedangkan, aktivitas di rumah adalah mengajar di sekolah yang dirintis almarhumah ibunya.
Ketenaran putri Gus Ramli akhirnya terdengar juga oleh Kiai Haji Muntashar, seorang ulama dari tanah seberang, yang lebih dikenal dengan Abah Yayi. Dulu, sewaktu menuntut ilmu di Madinah al-Munawarah, Abah Yayi adalah sahabat karib Gus Ramli. Kebetulan, Abah Yayi mempunyai seorang putra yang usianya dua tahun lebih tua dari putri Gus Ramli, namanya Ihsan Kamil, sarjana sosial dari universitas bergengsi di ibu kota. Tapi, kebiasaan Abah Yayi bertolak belakang dengan Gus Ramli. Abah Yayi lebih senang bila tamu yang datang dari kalangan pejabat. Maka, dengan diam-diam Abah Yayi mencari informasi tentang status Maria, tidak lain kepentingannya untuk menjodohkan putranya dengan putri Gus Ramli. Setelah informasi yang didapat mencukupi untuk bahan pertimbangan, dan tentunya, bagi seorang kiai, informasi tersebut untuk modal istikharah. Namun, sesudah melakukan shalat Istikharah, justru yang didapat adalah rasa bimbang. Abah Yayi mengulanginya lagi, terus sampai berkali-kali setiap malam, namun jawabannya sama, tidak ada kemantapan hati. “Mungkin ilmu saya lebih rendah dari Gus Ramli sehingga tidak bisa menembusnya,” gumam Abah Yayi dalam hati.
Siang itu, Abah Yayi memberanikan diri menelepon Gus Ramli. Setelah mengucapkan salam, menanyakan kabar, bercerita mengenai aktivitas dan rutinitas, sampai bercerita tentang putra dan putri masing-masing, akhirnya pembicaraan mengarah ke seputar perjodohan.
“Gus Ramli, bagaimana jika putri Sampean menikah dengan putra saya?” tanya Abah Yayi mulai serius.
“Oh, ndak apa-apa, kebetulan saya sudah ingin menimang cucu, tapi saya kan belum tahu putra Sampean.”
“Jadi, selanjutnya bagaimana, Gus?” kembali Abah Yayi bertanya.
“Kita silaturahim sambil taaruf, nanti kalau sama-sama sreg baru dikhitbah.”
Keduanya sepakat. Pada hari yang telah ditentukan, Abah Yayi dan putranya akan beranjangsana ke tempat Gus Ramli. Sebelum mengakhiri pembicaraan, Abah Yayi dan Gus Ramli saling minta maaf, lalu saling mengucap salam. Pembicaraan selesai. Abah Yayi menutup teleponnya.
***
Hari yang dijanjikan telah tiba, tampak sehari sebelumnya Abah Yayi telah bersiap-siap berangkat. Ada aura tegang menyemburat dari raut muka Ihsan Kamil. Ingatannya melayang terbang menyusuri masa lalu. Ia teringat mantan kekasihnya sewaktu kuliah dulu, hampir dua tahun ia berpacaran, namun kasih tak sampai. Waktu itu, Ihsan Kamil berkeinginan menikahi Noviana, pujaan hatinya. Akan tetapi, alangkah hancur hati Ihsan Kamil ketika Abah Yayi tidak mengizinkannya menikah dengan Noviana. Alasan Abah Yayi memang sangat mendasar karena Ihsan Kamil, anak lelaki satu-satunya, nanti akan mewarisi pesantren yang telah dibangun oleh kakeknya dulu. Sementara Noviana adalah gadis metropolitan yang terbiasa hidup bebas. Sangat tidak sesuai bila ia nanti harus memangku pesantren dan menangani santri putri.
“Pikirkan matang-matang, Nak. Bagaimana jadinya pesantren ini bila dipegang oleh orang yang kulturnya berbeda dengan kita. Bisa bubar nanti para santri. Masalah cinta jangan dituruti, cinta itu hawa nafsu, Nak.”
Kata-kata Abah Yayi masih terngiang di telinga Ihsan Kamil. Hatinya tidak bisa menolak. Ia sadar bahwa masa depan pesantren itu ada di pundaknya. Ia juga tidak mungkin membangkang Abah Yayi, ayah sekaligus guru yang mengajarinya berbagai ilmu.
“Ayo kita berangkat!” tegur Abah Yayi menyadarkan lamunan Ihsan Kamil.
***
Singkat cerita, Maria telah dikhitbah Ihsan Kamil. Tanggal pernikahan pun langsung ditentukan. Rombongan Abah Yayi segera pulang karena harus mengurus pesantren, mendatangi undangan, dan menerima tamu. Begitulah rutinitas Abah Yayi.
Berbeda dengan Abah Yayi, Gus Ramli justru jarang keluar. Ia lebih sering merenung dan memperbanyak zikir. Awalnya, setelah beberapa malam shalat Istikharah, Gus Ramli selalu bermimpi sama. Dalam mimpinya, ia melihat Maria mengenakan pakaian serba hijau sedang berbahagia di sebuah taman dikelilingi oleh wanita-wanita sebaya. Tapi, dalam mimpi itu, Gus Ramli sama sekali tidak melihat Ihsan Kamil. Justru, yang terlihat adalah istrinya yang sudah wafat.
Belum pernah Maria merasakan kebahagiaan seperti saat ini. Ia bahagia akan segera menikah. Bagi Maria, hari-hari seakan bergulir teramat lambat. Kalau tidak dibarengi dengan aktivitas lain, mungkin terasa lebih lambat lagi.
Hari yang dinantikan akan segera tiba. Maria mulai mempersiapkan diri, baik persiapan fisik maupun mental. Ia semakin meningkatkan olah spiritualnya. Bila malam datang, ia isi dengan qiyamul lail, shalat Tahajud, dan tadarus Alquran. Siang hari, ia biasa menjalankan puasa Daud. Maria menjalankan itu semua dengan hati bahagia karena memang sudah menjadi kebiasaannya. Hanya saja, yang membuat Maria heran akhir-akhir ini adalah ia lebih sering bermimpi berjumpa ibunya.
Ada satu hal yang belum dipersiapkan Maria, ia belum mempunyai gaun pengantin untuk walimatul ursy nanti. Maka, hari itu juga, Maria segera pergi ke pasar kain. Setelah cukup lama memilih kain dan warna yang cocok, pilihan Maria jatuh pada kain yang berwarna hijau.
“Bagus yang ini Mbak. Kalau untuk pengantin, cocoknya yang putih,” kata penjual sambil menawarkan kain.
“Terima kasih, Bu, tapi saya lebih suka yang warna hijau,” ujar Maria sopan.
“Memangnya kenapa pilih warna hijau?”
“Ini warna surga,” jawab Maria spontan. Ia kemudian heran atas jawabannya sendiri. Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa ia sadari. Setelah transaksi, Maria segera pulang. Di perjalanan, ia terus memikirkan kalimat yang baru saja ia katakan, ‘warna surga’.
Sepeda motor yang dikendarai Maria segera meluncur ke rumah desainer di kota itu. Sesudah menentukan ukuran dan bentuk gaun, sang desainer menjanjikan gaunnya selesai dalam tempo tujuh hari. Setelah tujuh hari, boleh diambil.
“Nanti, model gaunnya seperti gamis biasa saja ya, Bu. Jangan terlalu norak dan tidak perlu pakai aksesori,” pesan Maria, dijawab anggukan kepala sang desainer.
***
Tujuh hari sangatlah lama dinanti bagi orang yang hatinya dipenuhi cahaya kebahagiaan. Maria semakin tak sabar menahan rindu, rindu untuk segera memakai gaun pengantin hijau. Anehnya, pada Maria, tidak pernah terlintas pikiran tentang Ihsan Kamil.
Hari yang dinanti tiba, tujuh hari telah lewat, dan di hari yang kedelapan bertepatan dengan hari Senin. Seperti biasa, pada hari Senin, Maria berpuasa. Selesai salat Dhuha, Maria berpamitan kepada Gus Ramli. Tidak seperti biasanya, ayah dan anak itu berpelukan dan bermaafan. Maria mencium tangan Gus Ramli, mengucap salam, lalu dengan mengendarai sepeda motor, ia bergegas menuju rumah sang desainer. Gus Ramli tak berkedip memandang kepergian putrinya, sampai hilang ditelan tikungan.

Sesampainya di rumah sang desainer, Maria langsung melihat gaunnya dan dipakai, lalu membayar upah pembuatan. Betapa senangnya Maria. Saking senangnya, ia tidak mau melepas gaunnya sampai ia berpamitan pulang sehingga ia pulang dengan memakai gaun pengantin.

***

“Gus Ramli! Putri Sampean barusan kecelakaan, ketabrak mobil, sekarang di rumah sakit lagi kritis!” kata seorang warga, menyampaikan kabar.

“Masya Allah…!” Gus Ramli kaget, buru-buru ia berangkat ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Gus Ramli langsung menemui Maria. Tangannya diletakkan di dada Maria. Sejenak Gus Ramli terdiam, dari mulutnya terdengar lirih suara zikir, membaca syahadatain.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun,” tanpa terasa air mata mengalir deras menyaksikan putri tercinta mengembuskan napas terakhir. Wajah Maria tersenyum berseri, kepalanya berpaling ke kanan.

Pada malam harinya, dengan hati yang diselimuti duka, Gus Ramli tertidur, kemudian bermimpi bertemu laki-laki yang mirip gurunya sewaktu menuntut ilmu di Madinah al-Munawarah. Laki-laki itu berkata, “Allah tidak rida, wali (kekasih)-Nya dinikahi laki-laki kotor,” kemudian laki-laki itu membaca Alquran surah an-Nur ayat tiga. (*)
Bekasi, 25 Juni 2011
Penulis yang mempunyai nama pena ‘Fata Durry’ ini aslinya bernama Abdul Halim Kalimin. Tinggal di BTN Kranggan Permai, Jl Tanjung V No 34, Jatisampurna, Kota Bekasi, Jawa Barat. Tulisan Fata beberapa kali dimuat di sejumlah media, termasuk Republika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar