Powered By Blogger

Jumat, 30 Maret 2012

Wawancara (Sebuah Pengantar)

Tidak ada berita tanpa narasumber. Tak ada narasumber tanpa wawancara. Jurnalisme apapun mediumnya (koran, tabloid, majalah, televisi, radio ataupun online), mengharuskan keterangan dari seorang atau sejumlah orang terkait suatu hal dan peristiwa yang diberitakan. Keterangan narasumber hanya bisa diperoleh lewat suatu wawancara. Jadi, wawancara merupakan unsur penting dalam proses kerja seorang jurnalis.
Persiapan Wawancara 
Kebanyakan jurnalis memahami wawancara sebagai proses tanya-jawab semata; sang jurnalis bertanya, narasumber menjawabnya. Wawancara bukanlah obrolan biasa yang tidak jelas arah dan tujuannya. Wawancara merupakan percakapan khusus antara jurnalis dan narasumber, yang isinya berupa pendapat atau opini serta fakta-fakta baru tentang suatu hal, perkara, atau kejadian yang akan diberitakan.  Untuk itu sebaiknya para jurnalis membuat persiapan/perencanaan sehingga hasil wawancara bisa lebih baik dan maksimal. Persiapan yang diperlukan adalah:
  1. Menetapkan topik yang akan dibicarakan atau ditanyakan kepada narasumber. Dengan begitu, wawancara menjadi fokus.
  2. Mempelajari dan memahami topik tersebut berdasarkan informasi yang sedang berkembang, termasuk data pustaka pendukung.
  3. Siapkanlah peralatan penunjang seperti buku catatan, tape recorder, dan bagi jurnalis televisi dan radio menggunakan mikrofon, kamera, bahkan juga HP untuk wawancara langsung. Peralatan ini sangat membantu, sebab tidak semua keterangan narasumber bisa diingat wartawan.
  4. Susunlah daftar pertanyaan yang bakal diajukan kepada narasumber. Ini sekedar guiding atau panduan saja agar wawancara tidak melebar ke hal-hal yang tidak relevan.
  5. Hubungilah narasumber yang punya otoritas, kompetensi, atau keterkaitan dengan berita. Buatlah janji kapan dan dimana wawancara akan dilakukan.
Model-Model Wawancara
  1. Wawancara Lewat Telepon. Model wawancara yang paling mudah ketika jurnalis hendak mendapatkan informasi secara cepat dari sumber berita. Wawancara ini dilakukan kepada narasumber yang jauh atau sulit untuk dijangkau dan juga narasumber yang cukup sibuk sehingga tidak punya waktu untuk bertemu. Keuntungan yang diperoleh dari wawancara model ini adalah menghemat waktu dan tenaga, pertanyaan yang diajukan langsung kepada pokok permasalahan. Narasumber dapat menyembunyikan privasinya tanpa mengganggu proses wawancara. Namun demikian wawancara lewat telepon juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya jurnalis menjadi terbatas untuk mengenal lebih dekat dan lebih banyak sumber-sumber berita. Model wawancara ini kurang memiliki komunikasi non verbal yang bisa membantu reporter menafsirkan respon sumber berita. Kelemahan lain wawancara ini bisa tersendat atau terputus bila teleponnya ngadat atau mengalami kerusakan teknis misalnya baterai HP sudah lemah.
  2. Wawancara Langsung/Tatap Muka. Wawancara model ini lebih memungkinkan para jurnalis mendapatkan keterangan yang lebih luas dan mendalam.Wawancara ini bisa dilakukan pada waktu yang lama dan tidak tergesa-gesa. Model wawancara ini memang untuk menggali serta mendalami informasi. Dalam melakukan wawancara harus secara wajar, jangan sampai terkesan tegang dan mencekam. Tidak perlu mendebat keterangan narasumber, sebab wawancara bukanlah untuk berdebat. Dalam mengajukan wawancara harus efektif dan retoris. Jawaban atau keterangan nara sumber sebaiknya dicatat yang penting-penting saja. Hati-hati terhadap keterangan narasumber yang dinyatakan off the record. Wartawan boleh menulis atau merekamnya tetapi tidak untuk memberitakannya.
  3. Wawancara Tertulis. Model ini untuk narasumber yang memang sulit untuk ditembus misalnya Presiden dan Wakil Presiden, atau juga tahanan politik dan narapidana kelas kakap yang keberadaannya sangat tertutup untuk pers.Topik yang diwawancarai biasanay rumit alias butuh kehati-hatian bagi narasumber untuk menjawabnya. Umumnya wawancara tertulis --dapat disampaikan via air mail (pos), faximile, dan email-- merupakan opsi terakhir ketika narasumber menolak diwawancarai lewat telepon ataupun tatap muka. Jadi, biasanya ini keputusan dari narasumber, karena para jurnalis umunya lbeih memilih model lain. Wawancara model ini membutuhkan waktu yang cukup lama:satau atau dua minggu dan bahkan sebulan. Tergantung kepada kesiapan atau kesediaan narasumber memberikan jawaban pertanyaan yang diajukan.
  4. Wawancara Eksklusif. Wawancara ini hanya dilakukan oleh media tersebut, tidak ada media lain yang melakukannya. Wawancara ekslusif menjadi kebanggaan seorang jurnalis, seolah dia telah menunjukkan keunggulannya dibanding media-media lain di tengah kompetisi yang sangat ketat. Wawancara bisa disebut eksklusif manakala narasumber yang diwawancarai itu benar-benar menjadi aktor utama (newsmaker) dari sebuah berita besar yang tengah bergulir. Aspek kedalaman serta perkembangan informasi yang disajikan juga menentukan eksklusif-tidaknya model wawancara ini. Jika isi atau informasinya belum pernah diberitakan media manapun, maka bisa dikategorikan sebagai wawancara eksklusif.
  5. Wawancara Bersama. Model ini dilakukan oleh beberapa jurnalis secara bersama-sama. Wawancara bersama ini sangat menguntungkan narasumber, sebab dia tidak perlu lagi melayani wawancara satu persatu dalam waktu yang berbeda-beda pula. Narasumber dapat memberikan keterangan sekalli saja, namun keterangannya langsung dikutip oleh banyak jurnalis. Tapi, dengan model wawancara ini, jurnalis tidak akan memperoleh informasi yang ekslusif. Biasanya narasumber yang menggelar wawancara bersama adalah tokoh-tokoh yang cukup sibuk sehingga tidak punya cukup waktu untuk melayani wawancara satu per satu.
  6. Wawancara Imajiner. Wawancara imajiner adalah suatu bentuk wawancara yang didasari imajinasi pewawancara. Sumeber beritanya ada, tetapi wawancaranya tidak benar-benar terjadi. Seolah-olah dilakukan wawancara, padahal nyatanya tidak. Dalam dunia jurnalistik ini dianggap sah dan diakui sebagai wawancara, asalkan diberi keterangan "wawancara imajiner." Model wawancara ini biasanya dilakukan seorang jurnalis dengan seorang tokoh yang telah tiada. Misalnya, Christianto Wibisono mewawancarai Bung Karno dan memuat hasil wawancaranya di koran. Atau, wawancara imajiner juga dilakukan dengan seseorang yang diyakini masih hidup tetapi teramat sulit diketahui keberadaannya, misalnya wawancara imajiner dengan Osama Bin Laden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar